Pages

Landmark Bandung


Setiap kota memiliki identitas kota (landmark) sendiri yang berbeda satu dengan lainnya, baik yang berskala regional, nasional, maupun internasional.
Kota Bandung mempunyai minimal dua identitas kota yang bertaraf internasional, yaitu Gedung Sate dan Kawasan Braga.
Dr.H.P. Berlage (1923), seorang arsitek kenamaan Belanda, menilai Gedung Sate merupakan een groots werk (sebuah karya besar).
Kawasan Braga sudah dikenal para wisatawan asing sejak masa Hindia Belanda dan merupakan salah satu unsur yang menjadikan Kota Bandung menerima julukan Parijs van Java. Kawasan Braga sempat dijuluki De meest Eropeesche winkelstraat van Indie (Kompleks pertokoan Eropa paling terkemuka di Hindia Belanda).
Gedung Sate dibangun pada tahun 1920 – 1924 di Wihelmina Boulevard (sekarang Jalan Diponegoro); peletakan batu pertama oleh Nona Johana Caaatherine Coops, putrid sulung Walikota Bandung B. Coops. dan Nona Petronella Roelofsen yang mewakili Gubernur Jenderal Hindia Belanda di Batavia.
 Gedung Sate merupakan karya monumental dari arsitek Ir. Gerber. Gaya arsitekturnya merupakan perpaduan langgam arsitektur tradisional Indonesia dan teknik konstruksi Barat, sehingga disebut Indo Eropeesche ArchitectuurStijln. Arsitektur Gedung Sate merupakan perpaduan antara gaya arsitektur Italia dan Moor dari zaman Renaissance dengan gaya arsitektur Hindu dan Islam. Ornamen berciri tradisional seperti pada candi Hindu terdapat dibagian bawah dinding gedung, sedangkan pada bagian tengahnya ditempatkan menara beratap tumpak seperti meru di Bali, sesuatu yang lazim pada gaya arsitektur Islam.
Ornamen enam tiang dengan bulatan berbetuk mirip tusuk sate ditempatkan pada puncak atap tumpak, sebagai lambing biaya pembangunan Gedung Sate sebesar 6.000.000 Gulden.
Tempo Doeloe gedung ini disebut Gouvernements Bedrijven (GB). Gedung ini kemudian disebut Gedung Sate berdasarkan bentuk ornament pada puncak atap tumpak tersebut. Gedung Sate sekarang menjadi Kantro Gubernur Jawa Barat.
Pemberian teritis (overstek) yang lebar dan selasar  pada lantai dasar sangat disesuaikan dengan iklim tropis, agar sirkulasi udara dan sinar matahari dapat masuk ke dalam bangunan dengan baik.
Atap meru (atap tumpak) pada bangunan utama merupakan vocal point bangunan ini. Rancangan atap itu merupakan upaya memasukan unsure local pada  desain bangunan. Wajah bangunan lebih didominasi dengan rincian (detail) arsitektur Barat seperti lengkung pada jendela dan tiang kecil yang memakai order klasik.
Kawasan Braga

Alun-alun, Merdika Lio, Balubur, Coblong, Dago, Bumiwangi, dan Maribaya sekarang, pada awal tahun 1800 terhubungkan dengan jalan-jalan setapak ke jalan Braga sekarang jalur lalu-lalang itu berhubungan dengan jalan tradisonal pada masa Kerajaan Pajajaran, yang melintasi Sumedanglarang dan Wanayasa. Angkutan penumpang dan hasil bumi, khususnya kopi dari Gudang Kopi (Balaikota sekarang), banyak memanfaatkan jalur tersebut.
Alat angkut umum yang dipergunakan pada saat itu adalah pedati, sehingga jalan itu disebut Karrenweg lebih dikenal kemudian dengan nama Pedatiweg (sekarang Jalan Braga).
Beberapa warung berdinding bamboo dengan atap rumbia dan rumah-rumah yang agak besar telah ada di sepanjang Pedatiweg tahun 1874. Kemudian, menyusul sebuah toko kecil, yang diikuti enam toko lainnya pada tahun 1894.
Asal-usul nama Braga sendiri masih tidak jelas hingga sekarang. Perubahan nama pedatiweg menjadi Bragaweg mungkin akibat ketenaran Toneelvereniging Braga, yang didirikan di Pedatiweg pada tanggal 18 Juni 1882 oleh Asisten Residen Priangan, Pieter Sijthoff. Kemungkinan lain, nama Braga berasal dari kata Bahasa Sunda ‘ngabaraga’ yang menurut seorang sastrawan Sunda, M.A. Salmun, berarti “berjalan di sepanjang sungai”. Letak Pedatiweg memang berdampingan dengan sungai Cikapundung.

Sumber : Album Bandoeng Tempo Doeloe

0 komentar:

Posting Komentar